“There are things that you can feel and not
describe.”
Menjadi trend di platform video TikTok membuat beberapa lagu berhasil meraih atensi besar dan mendapat nominasi di ajang penghargaan musik paling bergengsi 63rd Annual Grammy Awards kategori “Record of the Year” yang berisikan nama seperti Beyonce, Dua Lipa, dan Post Malone. Ada nama Billie Eilish pula di nominasi itu yang kemudian keluar sebagai pemenang untuk tahun kedua berturut-turut. Billie Eilish memang sensasi saat ini, mengingatkan pada naiknya pamor Justin Bieber saat usianya masih sangat muda kala itu. Ternyata ada “minus” dari kesuksesan Billie, aura kuatnya di panggung ternyata tidak selalu menyala saat menjalani kehidupan pribadinya. ‘Billie Eilish: The World's a Little Blurry’ : she's the "bad" guy. Duh.
Di tahun 2015 Finneas O'Connell menulis sebuah lagu berjudul “Ocean Eyes” yang rencananya ia tulis dan akan ia produksi untuk band-nya. Namun ternyata lagu itu kemudian Finneas “serahkan” kepada Billie Eilish, sang adik yang ia rasa memiliki karakter vocal yang lebih cocok untuk lagu tersebut. Ocean Eyes sendiri berhasil viral di SoundCloud dan kemudian mulai tampil di radio-radio dan meraih posisi tertinggi dengan duduk di peringkat 84 chart Billboard Hot 100. Sejak saat itu nama Billie Eilish mulai mendapat atensi para penikmat musik.
Hingga di tahun 2019 yang lalu album ‘When We All Fall Asleep, Where Do We Go?’ rilis, album kombinasi pop dan electropop dengan kesan eksperimental kental yang dimulai dengan single ‘You Should See Me in a Crown’ hingga mengantarkan Billie meraih puncak tertinggi Billboard Hot 100 dengan lagu ‘Bad Guy’. Namun ternyata ketika pamornya sebagai musisi bertalenta yang eksentrik semakin besar dan kuat Billie Eilish ternyata juga harus berhadapan dengan “rintangan” di dalam industri tersebut, dari urusan musik yang lalu memberi dampak pada kehidupan pribadinya sebagai manusia biasa.
Kunci kesuksesan film ini sederhana, yaitu less drama. Mengingat sifat non-fictional yang menjadi dasar utamanya maka salah sifat dari sebuah film dokumenter adalah mencoba menangkap “realita” dari subjek maupun objek utama, tapi di sisi lainnya tentu ada dramatisasi di sana, bagaimana Sutradara dan Screenwriter menambahkan sedikit “bumbu penyedap” yang kerap berguna untuk membuat isu atau pesan yang coba diulik jadi terasa semakin menarik rasanya. Hal tersebut tidak absen di film ini namun di tangan Sutradara R. J. Cutler ‘Billie Eilish: The World's a Little Blurry’ hadir kesan hangat yang sangat kuat pada durasi yang bergulir lebih dari dua jam itu.
Mungkin itu tidak lepas dari fakta bahwa tidak adanya isu atau konflik yang memang sejak awal coba “diperas” habis-habisan oleh R. J. Cutler. Sama seperti yang dahulu pernah sukses ia lakukan di ‘Listen to Me Marlon’ di sini Cutler kembali beruntung memiliki subjek yang punya pesona kuat di kehidupan nyata. Dari penampilannya Billie Eilish memang memiliki kesan eksentrik yang mencolok tapi sulit untuk menampik bahwa ada aura seorang free person darinya, kita bisa lihat dari salah satu cuplikan di film ketika Billie seperti menunjukkan bahwa ia tidak senang terhadap tekanan yang diberikan oleh Finneas O'Connell, pada proses pengerjaan album.
Di industri berkembang semakin cepat dan semakin “mudah” seperti sekarang ini permintaan dari Finneas O'Connell adalah sesuatu yang wajar, termasuk saat dirinya berperan sebagai Produser dan mengatakan ketidaksukaannya pada beberapa hal saat proses recording. Namun di sisi lain karakter Billie Eilish sukses dibentuk oleh R. J. Cutler agar menjadi wujud nyata dari seorang seniman konvensional, ia terlihat perfeksionis dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan rules yang eksis di dalam industri. Dua hal itu yang kemudian “diadu” oleh R. J. Cutler untuk kemudian ditaruh menjadi semacam konflik utama bagi penggambaran perjalanan karir Billie Eilish.
Sebuah penggambaran yang manis lebih tepatnya dan dengan durasi yang lebih dari dua jam itu saya terkejut ketika sadar betapa menikmatinya saya mengikuti kisah kasih kehidupan seorang Billie Eilish. Sejak menit pertama saya sudah dibuat merasa menjadi bagian dari tim Billie Eilish, kamera menjadi mata dan saya seperti satu dari beberapa anggota tim yang mendukung kegiatan Billie Eilish. Kesan hangat lagi-lagi sangat mendominasi, tidak hanya karena karakter Billie saja lengkap dengan segala keunikannya tapi juga karena R. J. Cutler berhasil merangkai runtutan masalah yang bergulir di dalam narasi, bergerak halus dan membuat penonton merasa dekat.
Jarak antara kamu dan Billie seperti coba dibentuk agar tampil seperti halnya jarak antara Billie dengan penonton di baris terdepan konsernya. Ada kesan intim yang kuat di sana sehingga tidak heran ketika setiap “lapis” dari diri dan kehidupan Billie disajikan ada kesan kuat bagaimana hidup Billie merupakan representasi sederhana dari kehidupan artis dan juga musisi, bagaimana dunia mereka yang tampak megah itu ternyata tidak senikmat yang penonton kira. Blurry, begitupula dengan Billie yang mengaku tidak menyukai proses menulis lagu, muncul konflik kepentingan dan juga selera, kehidupan percintaannya juga demikian.
Ada pesona percaya diri yang kuat dari R. J. Cutler dalam menggabungkan sisi rentan dan karisma seorang Billie Eilish, seorang artist yang ingin tampil jujur namun cemas dengan tuntutan yang ia rasakan dari kesuksesannya kini. Tanpa dramatisasi yang berlebihan tentunya namun lebih kepada sebuah potret tentang bagaimana artis juga manusia, kesuksesan yang telah mereka raih tidak serta merta membuat kehidupan mereka otomatis “aman”. Tidak semua dark dan blurry tentunya, dengan cara bijak R. J. Cutler menggunakan sosok Billie Eilish untuk sebagai contoh secercah harapan dari remaja muda yang sukses meraih mimpinya di industri musik berkat bakat dan usaha kerasnya. Just like Justin Bieber did.
Overall, ‘Billie Eilish: The World's a
Little Blurry’ adalah film yang memuaskan. Ini memang
terasa sedikit over durasinya namun
mampu menjadi media bagi penonton untuk mengenal sosok Billie Eilish, kombinasi concert
movie dengan sebuah potret kehidupan wanita muda yang karirnya meroket
tinggi dan kini harus berhadapan dengan “dunia” yang mungkin tidak melulu cocok
dengan dirinya yang eksentrik itu. Billie sendiri pada dasarnya merupakan
subjek yang menarik, auranya sangat kuat dan digunakan dengan sangat baik oleh R. J. Cutler untuk membentuk film ini
menjadi kombinasi yang menyenangkan tentang karir dan kehidupan pribadi Billie
Eilish, dari rintangan serta harapan dalam hidup lalu ikut bergoyang kecil saat
lagu-lagu hits Billie Eilish muncul di layar.
"You have to have faith, you have to do your best, and live your best life, and then you have to live in denial."
ReplyDelete